[JAKARTA] Pemberlakuan liberalisasi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 perlu amat sangat diwaspadai para pelaku konstruksi di Tanah Air agar jangan sampai pasar domestik diambil alih oleh kompetitor asing.
Plt Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hediyanto W Husaini dalam sejumlah kesempatan telah menyatakan bahwa pasar konstruksi Indonesia harus dikuasai kontraktor nasional.
Menurut dia, sebuah negara dapat maju bila infrastruktur dan berbagai konstruksi penting yang terdapat di dalamnya dibangun oleh kekuatan yang mandiri dari negara tersebut.
Apalagi, ia mengingatkan bahwa sektor konstruksi termasuk dalam bidang perekonomian yang memiliki rata-rata pertumbuhan mencapai sekitar tujuh persen per tahunnya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini juga menitikberatkan pada sektor konstruksi, selain dari sektor pangan untuk swasembada pangan, dalam struktur RAPBN-P 2015.
Untuk itu, Hediyanto menegaskan pentingnya pembinaan yang bertujuan untuk menyelaraskan kekuatan kontraktor dalam negeri sehingga pada akhirnya dapat menguasai pasar nasional dan melampauinya.
Ia juga mengemukakan bahwa Indonesia dinilai mampu mendominasi persaingan sektor jasa konstruksi ASEAN saat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai 2015.
“Dengan bekal pengalaman di berbagai negara di Timur Tengah, Afrika, Timor Leste, dan negara ASEAN lainnya, saya yakin badan usaha dan tenaga kerja konstruksi Indonesia akan mampu,” katanya.
Husaini mengatakan, guna memaksimalkan daya saing pelaku konstruksi nasional dalam menghadapi MEA 2015, konsep Indonesia Incorporated yang sudah sejak lama diharapkan bangsa Indonesia perlu segera diwujudkan.
Konsep ini bervisi mewujudkan kepaduan dan interkonektivitas serta saling mendukung di segala lini pada berbagai instansi dan perusahaan nasional. Konsep ini telah lama diaplikasikan Korea Selatan dan banyak negara industri lain.
Pemerintah berkomitmen untuk mendorong dan memfasilitasi perluasan akses pasar konstruksi ke negara-negara anggota ASEAN.
Antara lain melalui pengurangan hambatan akses pasar, promosi pelaku konstruksi nasional, diplomasi bisnis, fasilitasi akses permodalan dan penjaminan, perjanjian penghindaran pajak ganda, serta informasi pemetaan pasar dan lingkungan usaha di negara tujuan.
Kembangkan “Quantity Surveyor” Salah satu fenomena yang perlu disorot di Indonesia adalah semakin pentingnya peran profesi “quantity surveyor” (QS) yang bergerak dalam tahap perencanaan hingga pengawasan konstruksi, yang dinilai juga sangat prospektif.
Menurut ensiklopedia dunia maya Wikipedia, QS dalam tahap perencanaan bertugas melakukan survey pasar untuk mendapatkan harga material bahan bangunan yang akan digunakan mengacu spesifikasi teknik dan dokumen bestek.
Dalam tahap selanjutnya, QS bertugas melakukan perhitungan terhadap Analisis Harga Satuan (AHS) berikut harga satuan pekerjaan (HSP) sesuai kebijakan manajemen proyek.
Ada kalanya dalam proyek-proyek dari pemerintah disyaratkan menggunakan analisis standar sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia.
Sedangkan dalam proyek-proyek swasta digunakan analisis sesuai dengan kebijakan dan pengalaman sendiri termasuk di dalamnya koefisien tenaga kerja dan bahan yang juga sangat besar pengaruhnya dalam menentukan besaran harga satuan pekerjaan.
Profesi QS sering kali dituntut adanya loyalitas dan integritas terhadap perusahaan atau badan antara lain karena menentukan analisis sangat memungkinkan untuk melakukan “mark up” yang dapat merugikan salah satu pihak.
Hediyanto mengingatkan bahwa pemerintah saat ini telah menjadikan pembangunan infrastruktur penting sebagai salah satu fokus utama pembangunan dengan dana mencapai kurang lebih Rp5.000 triliun dalam periode 2015-2019. “Maka profesi QS sangatlah penting,” katanya.
Ia memaparkan, profesi QS telah masuk di Indonesia sejak awal dekade 70, dan pada awal perkembangannya tidak setiap proyek konstruksi menggunakan jasa QS baik di pihak kontraktor maupun di pihak pemberi tugas.
Selaras dengan perkembangan industri konstruksi di Tanah Air, pada era 80-an jasa QS mulai dikenal dan digunakan di proyek-proyek konstruksi Indonesia terutama di sektor swasta.
Namun, perkembangan QS di Indonesia dinilai berjalan lambat karena tidak adanya pendidikan formal untuk itu di universitas, berbeda dengan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
“Untuk itulah pemerintah mendorong adanya regulasi yang menjadikan QS lebih mendapat tempat, bahkan jika perlu ada pendidikan atau jurusan resmi di berbagai sekolah dan universitas di Indonesia,” ucapnya.
Pantau Ketersediaan Material Selain itu, hal lainnya yang perlu diperhatikan dan dipantau adalah ketersediaan kebutuhan material dan peralatan konstruksi guna mengantisipasi peningkatan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.
“Terkait pemenuhan kebutuhan material dan peralatan konstruksi, pemerintah akan terus memantau ketersediaannya di pasar,” kata Husaini dan menambahkan, beberapa material yang dipantau ketersediaannya tersebut antara lain semen dan aspal.
Khusus untuk aspal, ujar dia, saat ini sedang didorong penggunaan aspal Buton sebagai substitusi aspal hingga sebesar 132,5 juta ton, yang dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan aspal impor.
Ia mengingatkan bahwa pemenuhan kebutuhan alat berat yang diprediksi meningkat tajam seiring peningkatan pembangunan infrastruktur, sehingga pemerintah bekerja sama dengan asosiasi dan penyedia alat berat akan terus berkoordinasi untuk bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Selain itu, lanjutnya, sedang diupayakan suatu sistem informasi yang menyediakan data dan informasi kebutuhan dan ketersediaan teknologi, material, dan peralatan.
Sedangkan terkait dengan material semen, PT Semen Indonesia Tbk menargetkan volume penjualan tahun 2015 dapat meningkat sekitar enam persen-tujuh persen menyusul kebijakan pemerintah yang menurunkan harga semen kantong yang diproduksi BUMN sebesar Rp3.000 per sak.
“Diharapkan penurunan harga semen bisa meningkatkan permintaan di tengah komitmen pemerintah yang akan menggenjot pembangunan infrastruktur di Tanah Air,” kata Direktur Utama Semen Indonesia Suparni usai rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) di Jakarta, Jumat (23/1).
Ia mengharapkan dengan penurunan harga jual semen tidak menyurutkan permintaan konsumsi saat musim hujan yang biasanya cenderung melambat. Dengan demikian, situasi itu tidak memengaruhi kinerja neraca keuangan perseroan pada tahun ini.
Sementara itu, rencana ekspansi PT Semen Indonesia di Myanmar yang direncanakan selesai pada kuartal IV 2014 masih belum terlaksana karena BUMN itu masih mencari skema terbaik untuk beroperasi di sana.
“Kami masih butuh waktu untuk masuk di sana, Myanmar baru membuka diri untuk investor asing, pelan-pelan kita akan mendapatkan partner di sana,” kata Dirut PT Semen Indonesia.
Ia mengatakan selain Myanmar kemungkinan PT. Semen Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri di Vietnam, Laos dan Kamboja karena di negara tersebut memiliki sumber daya alam yang banyak, situasi investasi yang baik dan permintaan yang baik sehingga cocok untuk mengembangkan bisnis di tempat tersebut.
Dukungan Banyak Pihak Sementara itu, investasi alat berat untuk mengembangkan sektor konstruksi di Indonesia memerlukan dukungan berbagai pihak agar dapat memenuhi keberlanjutan bisnis penyewaan alat berat di Tanah Air.
“Untuk membuat sendiri alat berat masih perlu dukungan. Kita mengajak produsen alat berat di luar negeri untuk membuat pabrik di Indonesia. Seperti, hidroliknya impor dan alat berat bahan dari Indonesia,” kata Plt Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hediyanto Husaini.
Menurut dia, investasi alat berat relatif mahal, sehingga kepemilikan alat berat harus memenuhi kriteria kualitas, umur, layanan, produktivitas, dan biaya operasi dan pemeliharaan yang layak.
Selain itu, ujar dia, hampir 99 persen komposisi kontraktor nasional masuk dalam kelompok klasifikasi kecil dan menengah sehingga menghadapi kesulitan berinvestasi alat berat.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu dukungan pemerintah dalam hal skema pembiayaan yang kompetitif sehingga mendorong terwujudnya bisnis penyewaan alat berat yang berkelanjutan.
Ia memaparkan, dana investasi untuk melakukan survei alat berat mencapai lebih dari Rp10 miliar dengan melalui proses tender untuk 2015.
Terkait dengan pangsa pasar BUMN, Hediyanto mengungkapkan bahwa akhir tahun 2015 akan menaikkan nilai proyek BUMN, yang semula Rp30 miliar per paket menjadi Rp50 miliar per paket.
Hal tersebut karena berbagai BUMN mendapatkan suntikan dana dari pemerintah yang besarannya dinilai dari kesiapan dan kemampuan BUMN tersebut.
BUMN Mesti Agresif Untuk itu, berbagai BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur yang dikabarkan bakal mendapatkan modal secara besar-besaran pada tahun 2015 ini diharapkan mesti lebih agresif dan ekspansif guna membangun beragam infrastruktur.
“Jadi rencana bisnis BUMN infrastruktur tidak bisa lagi normal-normal saja, harus lebih berani, ekspansif, dan agresif,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi) Andi Rukman Karumpa.
Dalam keterangan tersebut disebutkan bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan menyuntikkan modal secara besar-besaran ke BUMN yang mencapai Rp75 triliun.
Penyertaan modal tersebut diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur ke depan.
Rencana itu, ujar dia, mendapat dukungan dan apresiasi dari pengusaha yang tergabung dalam Gapensi secara nasional.
“Kami apresiasi langkah ini. Sebab, selain pemerintah mengoptimalkan peran BUMN sebagai agent of development, juga ini merupakan cara pemerintah mengoptimalkan anggaran negara yang terbatas untuk pembangunan infrastruktur,” katanya.
Ia juga mengutarakan harapannya bahwa dengan cara semacam ini, sebagian besar APBN dapat diarahkan untuk pembiayaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang tidak feasible secara bisnis di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
“Untuk yang feasible di kawasan barat, bisa digarap BUMN dan yang tidak ’feasible’ di KTI digarap APBN,” kata Andi.
Sumber: beritasatu.com