Selepas adzan maghrib, sempatkanlah malala menuju jalan Bagindo Azis Chan, Padang. Berhentikan kendaraan anda di depan Kantor Pos Indonesia.
Ini menjadi semacam pemandangan rutin yang terjadi di Kantor Pos Indonesia itu. Orang-orang yang datang kesana berasal berasal dari berbagai lulusan pendidikan formal. Ada yang lulus SLTA, Sekolah Tinggi dan Universitas.
Pada papan pengumuman anda akan menyaksikan sekelompok orang yang sedang mencari informasi tentang pekerjaan.
Meskipun berbeda latar belakang kelulusan, kelompok itu bisa kita sebut dengan satu tarikan nafas, “pengangguran”. Para pencari kerja ini merupakan sekelompok orang yang berada pada suatu “transisi ekstrim”. Awalnya disubsidi secara penuh oleh orang tua, lalu berpindah menuju manusia mandiri yang bertanggung jawab akan kebutuhan hidup dalam arti yang sesungguhnya.
Masyarakat ekonomi Asean sudah sangat sering diulas, baik dalam bentuk opini media cetak maupun seminar dari kampus ke kampus. Diantaranya oleh Kawan Arifki (baca : Reformasi birokrasi menghadapi MEA. 20/1/2016). Kawan Arifki menekankan pentingnya Reformasi Birokrasi dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.
MEA seturut dengan pengertiannya yang paling mudah dipahami, merupakan sebuah gagasan untuk membentuk Pasar tunggal pada wilayah regional Asia Tenggara. Kondisi ini memungkinkan lalu lintas barang dan jasa diteritorial wilayah Negara yang terhimpun dalam ASEAN. Namun penulis berpandangan bahwa MEA tidak sesederhana itu. MEA merupakan medan ekonomi politik. Tempat bertemunya pemodal-pemodal besar dengan pedagang yang serba kecil yang pada suatu ketika harus siap berkejaran dengan SATPOL PP. bahkan untuk batasan tertentu, MEA merupakan pertarungan antar kelas (class struggle) dimana negara “abstain” didalamnya.
Berangkat dalam situasi yang demikian, mengartikan kembali tentang pekerjaan menjadi penting agar masyarakat mampu bertahan menghadapi kemungkinan terburuk dari penerapan pasar tunggal tersebut. Dunia kerja adalah wadah dimana proses produksi berupa barang dan jasa diatur sedemikian rupa dengan regulasi tertentu yang dibuat oleh pemangku kepentingan. Semua sirkulasi produksi itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa memasukkan manusia kedalamnya. Manusia menjadi elemen penting dalam keselurahan proses itu.
Ditinjau dari tingkat ketersediaannya, dunia kerja membentang dari tawaran sebagai pegawai institusi pemerintahan sampai kepada karyawan swasta. Dari Pegawai Negeri Sipil sampai menjadi defkolektor perusahaan finance. Dari karyawan tetap sampai pada buruh outsourching .Setidaknya itulah yang disediakan oleh iklan lowongan pekerjaan. Tentu saja masing-masing pekerjaan membutuhkan kompetensi teretentu, tergantung bobot dan tingkat kesulitan dari pekerjaan itu sendiri.
Mencermati data dari Badan Pusat statitstik, sampai pada bulan Februari 2015, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,4 juta orang. Angka yang cukup mencengangkan bagi kita mengingat semakin beragamnya jenis pekerjaan yang tersedia. Melihat keadaan ini, berbagai nada sumbang dialamatkan kepada Negara yang terkesan tidak lagi mampu mengurusi dan menjamin kehidupan warganya. Apakah benar demikian ?, jawabannya lebih dari sekedar iya atau tidak.
Negara berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Tentu kita semua sepakat dengan itu. Namun anggapan bahwa semua tanggung jawab itu diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah, tentu saja keliru. Berharap banyak terkait lapangan pekerjaan kepada pemerintahan yang sedang dilanda krisis ekonomi politik berkepanjangan akan berbuah pada ke sia-siaan. Sebelum kita membahas persoalan ini lebih lanjut, ada baiknya kita telusuri kembali definisi dari pekerjaan itu sendiri, setidaknya pengertian yang dipakai oleh umum.
Pekerjaan menurut KBBI merupakan pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan ; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah. Bekerja sangat erat kaitannya dengan usaha manusia untuk bertahan hidup. Sementara bertahan hidup di zaman purbakala sangat jauh berbeda dengan hidup di tahun 2016. Beda zaman, beda kebutuhan dan tentu saja beda cara. Jika di Zaman Hindia-Belanda orang Indonesia cukup hidup dengan sebenggol sehari (menurut pihak kolonial), hari ini sebenggol itu bahkan tidak kita temui dalam mata uang yang berlaku di Indonesia.
Dalam perkembangannya, sebagian orang mengartikan kembali (secara semena-mena) tentang kapan seseorang dianggap bekerja. Individu baru dikatakan memiliki pekerjaan jika memiliki kantor, menerima penghasilan yang pasti tiap bulan, dan ada indikasi perubahan nasib menuju kemakmuran. Jika demikian halnya, bagaimana dengan nasib orang-orang yang berusaha bertahan hidup lewat cara yang tidak mainstream seperti yang dijelaskan sebelumnya. Menjadi penulis misalkan, apakah dia dianggap orang yang tidak bekerja ?.pada kondisi ini pengertian bekerja sebagaimana yang diyakini sebagian orang itu terasa menjadi alat penakar yang terlalu sempit.
Redefinisi
Tidak ada masalah jika ada yang ingin bekerja sebagai PNS, dengan konsekuensi hidup dijamin oleh Negara. Atau yang ingin bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta yang berpotensi menjadikan anda sebagai “kelas menengah” (dibilang kaya entah, dibilang miskin tak mau). Problemnya adalah ketika pengertian tentang pekerjaan itu sendiri “ditarik terlalu jauh dari diri sendiri dan realitas”.
Sebelum terburu-buru mengartikan pekerjaan sebagai usaha untuk mencari nafkah, terlebih dahulu kita mesti memahami pekerjaan dalam tatanan filosofis. Karl Marx mendefinisikan pekerjaan sebagai tindakan manusia yang paling dasar. Pekerjaan membuat manusia mengada secara antologis (nyata). Berangkat dari pengertiannya Marx, manusia tidak pernah benar-benar berada dalam kondisi ketiadaan pekerjaan.
Paradigma ini penting untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan, khususnya bagi orang yang merasa begitu sulit mendapatkan pekerjaan yang diakui oleh publik. Ditambah lagi, memahami pekerjaan dalam pengertian ini menambah keluasan kita dalam melakukan sesuatu untuk mencari nafkah. Betulkah lapangan pekerjaan yang tidak tersedia atau justru pembatasan kita terhadap pekerjaan yang membuat kita menganggur ?
Dari pengertian yang “terbarukan” dari pekerjaan itu, akan berdampak pada banyak hal dalam masyarakat kita. Lulusan sarjana tidak akan merasa canggung jika harus bekerja menggarap sawah ladang dikampung halaman. Seorang penyair/sastrawan tidak perlu sungkan mengatakan pekerjaannya ketika ditanya oleh calon mertua. Toh, hal-hal yang tidak dianggap penting bagi sebagian orang itu, kalau diseriusi juga mampu menghasilkan uang. Bukankah cara bertahan hidup itu tidak melulu harus jadi Pegawai Negara ?
Pasar tunggal ASEAN adalah kabar buruk bagi mereka yang tidak segera bersiap-siap. Mendefinisi ulang pekerjaan dengan “tidak menariknya terlalu jauh dari realitas” adalah sebuah gagasan yang diharapkan mampu menjadi solusi. Realitas Padang Pariaman adalah pertanian dan kebun kelapa. Segala daya upaya harus dimaksimalkan untuk menggarap sektor itu. Dengan demikian kita mampu menciptakan kantong-kantong kecil perekonomian yang mandiri dan benar-benar kita kuasai. Karena sampai kapanpun, penulis tidak akan pernah merelakan tenaga kerja asing itu sampai memiliki kompetensi untuk mengarahkan baruak untuk mamanjek batang karambia.
INSAN AL FAJRI
(Komunitas Jejak Pena)
Sumber: Harianhaluan.com