Mendefinisikan Ulang “Pekerjaan” dalam MEA

0
481

Selepas adzan ma­ghrib, sempatkanlah malala menuju jalan Bagindo Azis Chan, Padang. Berhentikan ken­daraan anda di depan Kantor Pos Indonesia.

Ini menjadi semacam peman­dangan rutin yang terjadi di Kantor Pos Indonesia itu. Orang-orang yang datang ke­sa­­na berasal berasal dari ber­bagai lulusan pendidikan for­mal. Ada yang lulus SLTA, Se­kolah Tinggi dan Univer­si­tas.

Pada papan pengumuman anda akan me­nyak­sikan sekelompok orang yang sedang mencari infor­masi tentang pekerjaan.

Meskipun berbeda latar belakang kelulusan, kelom­pok itu bisa kita sebut dengan satu tarikan nafas, “pengang­guran”. Para pencari kerja ini meru­pakan sekelompok orang yang berada pada suatu “transisi ekstrim”. Awalnya disubsidi secara penuh oleh orang tua, lalu berpindah menuju manusia mandiri yang bertanggung jawab akan kebutuhan hidup dalam arti yang sesungguhnya.

Masyarakat ekonomi Ase­an sudah sangat sering diulas, baik dalam bentuk opini media cetak maupun seminar dari kampus ke kam­pus. Di­an­ta­ranya oleh Kawan Arifki (ba­ca : Reformasi birokrasi meng­­hadapi MEA. 20/1/2016). Kawan Arifki mene­kan­kan pentingnya Re­for­masi Birokrasi dalam Meng­­hadapi Masyarakat Eko­­nomi Asean.

MEA seturut dengan pe­nger­tiannya yang paling mu­dah dipahami, merupakan sebuah gagasan untuk mem­bentuk Pasar tunggal pada wilayah regional Asia Teng­gara. Kondisi ini memung­kin­kan lalu lintas barang dan jasa diteritorial wilayah Negara yang terhimpun dalam ASE­AN. Namun penulis berpan­dangan bahwa MEA tidak sesederhana itu. MEA meru­pakan medan ekonomi poli­tik. Tempat bertemunya pe­mo­dal-pemodal besar dengan pedagang yang serba kecil yang pada suatu ketika harus siap berkejaran dengan SAT­POL PP. bahkan untuk bata­san tertentu, MEA meru­pakan pertarungan antar kelas (class struggle) dimana nega­ra “abstain” didalamnya.

Berangkat dalam situasi yang demikian, mengartikan kembali tentang pekerjaan menjadi penting agar masya­rakat mampu bertahan meng­hadapi kemungkinan ter­buruk dari penerapan pasar tunggal tersebut. Dunia kerja adalah wadah dimana proses produksi berupa barang dan jasa diatur sedemikian rupa dengan regulasi tertentu yang dibuat oleh pemangku kepen­tingan. Semua sirkulasi pro­duksi itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa memasukkan manusia keda­lamnya. Manusia menjadi elemen penting dalam kese­lurahan proses itu.

Ditinjau dari tingkat keter­se­diaannya, dunia kerja mem­bentang dari tawaran sebagai pegawai institusi peme­rin­tahan sampai kepada karya­wan swasta. Dari Pegawai Negeri Sipil sampai menjadi defkolektor perusahaan fi­nan­­ce. Dari karyawan tetap sampai pada buruh out­sour­ching .Setidaknya itulah yang disediakan oleh iklan lowo­ngan pekerjaan. Tentu saja masing-masing pekerjaan mem­butuhkan kompetensi teretentu, tergantung bobot dan tingkat kesulitan dari pekerjaan itu sendiri.

Mencermati data dari Ba­dan Pusat statitstik, sampai pada bulan Februari 2015, jumlah pengangguran di Indo­nesia mencapai 7,4 juta orang. Angka yang cukup mence­ngang­kan bagi kita mengingat semakin beragamnya jenis pekerjaan yang tersedia. Meli­hat keadaan ini, berbagai nada sumbang dialamatkan kepada Negara yang terkesan tidak lagi mampu mengurusi dan menjamin kehidupan warganya. Apakah benar de­mi­kian ?, jawabannya lebih dari sekedar iya atau tidak.

Negara berkewajiban un­tuk menyediakan lapangan pekerjaan. Tentu kita semua sepakat dengan itu. Namun anggapan bahwa semua tang­gung jawab itu diserahkan sepenuhnya kepada Peme­rin­tah, tentu saja keliru. Berharap banyak terkait lapangan pe­ker­jaan kepada pemerintahan yang sedang dilanda krisis ekonomi politik berke­pan­jangan akan berbuah pada ke sia-siaan. Sebelum kita mem­bahas persoalan ini lebih lanjut, ada baiknya kita telu­suri kembali definisi dari pekerjaan itu sendiri, seti­daknya pengertian yang dipa­kai oleh umum.

Pekerjaan menurut KBBI merupakan pencaharian yang dijadikan pokok penghi­du­pan ; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah. Be­ker­ja sangat erat kaitannya dengan usaha manusia untuk bertahan hidup. Sementara bertahan hidup di zaman pur­bakala sangat jauh berbe­da dengan hidup di tahun 2016. Beda zaman, beda kebu­tu­han dan tentu saja beda cara. Ji­ka di Zaman Hindia-Belan­da orang Indonesia cukup hi­dup dengan sebenggol seha­ri (me­nurut pihak kolonial), ha­ri ini sebenggol itu bahkan ti­dak kita temui dalam mata uang yang berlaku di Indo­ne­sia.

Dalam perkembangannya, sebagian orang mengartikan kembali (secara semena-me­na) tentang kapan seseorang dianggap bekerja. Individu baru dikatakan memiliki pekerjaan jika memiliki kan­tor, menerima penghasilan yang pasti tiap bulan, dan ada indikasi perubahan nasib menuju kemakmuran. Jika demikian halnya, bagaimana dengan nasib orang-orang yang berusaha bertahan hidup lewat cara yang tidak main­stream seperti yang dije­laskan sebelumnya. Menjadi penulis misalkan, apakah dia dianggap orang yang tidak bekerja ?.pada kondisi ini pengertian bekerja seba­gai­mana yang diyakini sebagian orang itu terasa menjadi alat penakar yang terlalu sempit.

Redefinisi

Tidak ada masalah jika ada yang ingin bekerja sebagai PNS, dengan konsekuensi hidup dijamin oleh Negara. Atau yang ingin bekerja seba­gai karyawan perusahaan swas­ta yang berpotensi men­jadikan anda sebagai “kelas menengah” (dibilang kaya entah, dibilang miskin tak mau). Problemnya adalah ketika pengertian tentang pekerjaan itu sendiri “ditarik terlalu jauh dari diri sendiri dan realitas”.

Sebelum terburu-buru me­ng­artikan pekerjaan seba­gai usaha untuk mencari naf­kah, terlebih dahulu kita mesti memahami pekerjaan dalam tatanan filosofis. Karl Marx mendefinisikan pekerjaan sebagai tindakan manusia yang paling dasar. Pekerjaan membuat manusia mengada secara antologis (nyata). Be­rang­kat dari pengertiannya Marx, manusia tidak pernah benar-benar berada dalam kondisi ketiadaan pekerjaan.

Paradigma ini penting untuk dijadikan sebagai ba­han pertimbangan, khususnya bagi orang yang merasa begitu sulit mendapatkan pekerjaan yang diakui oleh publik. Di­tam­bah lagi, memahami pe­ker­jaan dalam pengertian ini menambah keluasan kita da­lam melakukan sesuatu untuk mencari nafkah. Betulkah la­pangan pekerjaan yang tidak tersedia atau justru pem­batasan kita terhadap peker­jaan yang membuat kita menganggur ?

Dari pengertian yang “ter­ba­rukan” dari pekerjaan itu, akan berdampak pada banyak hal dalam masyarakat kita. Lulusan sarjana tidak akan merasa canggung jika harus bekerja menggarap sawah ladang dikampung halaman. Seorang penyair/sastrawan tidak perlu sungkan menga­ta­kan pekerjaannya ketika dita­nya oleh calon mertua. Toh, hal-hal yang tidak dianggap penting bagi sebagian orang itu, kalau diseriusi juga mam­pu menghasilkan uang. Bu­kankah cara bertahan hidup itu tidak melulu harus jadi Pegawai Negara ?

Pasar tunggal ASEAN ada­lah kabar buruk bagi me­re­­ka yang tidak segera ber­siap-siap. Mendefinisi ulang pe­kerjaan dengan “tidak me­na­­riknya terlalu jauh dari rea­litas” adalah sebuah gaga­san yang diharapkan mampu men­jadi solusi. Realitas Pa­dang Pariaman adalah perta­nian dan kebun kelapa. Segala da­ya upaya harus dimak­si­mal­kan untuk menggarap sek­tor itu. Dengan demikian ki­ta mam­pu menciptakan kan­tong-kantong kecil pere­ko­no­mian yang mandiri dan benar-be­nar kita kuasai. Kare­na sam­pai kapanpun, penulis ti­dak akan pernah merelakan te­na­ga kerja asing itu sampai me­miliki kompetensi untuk me­ngarahkan baruak untuk ma­manjek batang karambia.

INSAN AL FAJRI
(Komunitas Jejak Pena)

Sumber: Harianhaluan.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here