TAUCHID KOMARA YUDA
Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada
Globalisasi telah memberikan akses bagi mobilitas barang dan jasa secara bebas. Sebagai konsekuensinya, para pelaku bisnis tetap survive dan harus dapat bersaing baik dalam level lokal maupun global.
Ketatnya persaingan antarpelaku usaha mengharuskan produk memiliki nilai lebih penawaran yang semula hanya berkisar pada harga, estetika, dankualitas, kini bertambah satu aspek lagi yaitu produk yang bersertifikat. Sertifikasi dianggap sebagai representasi terhadap kelayakan suatu produk.
Dalam mempertimbangkan produk yang akan dibeli, konsumen akan sangat memperhatikan label sertifikasi pada produk seperti ecoshape dan ecofriendly product yang saat ini menjadi prioritas segmentasi pasar internasional. Di tengah ketatnya intensitas persaingan di aras global maupun regional ASEAN, perhatian konsumen di Indonesia tentang produk bersertifikasi masih minim.
Hal tersebut memberi kemudahan bagi produk luar negeri untuk menembus pasar lokal hanya bermodalkan inovasi penawaran. Sebaliknya, inovasi penawaran di Indonesia menjadi terkendala di pasar dunia, terutama bagi komunitas pembisnis skala menengah ke bawah sebagai akibat dari ”mahalnya” biaya mendapatkan sertifikasi itu sendiri.
Di Yogyakarta misalnya, guna mendapatkan sertifikasi halal saja, UMKM harus merogoh kocek sekitar Rp3 juta, apalagi sertifikasi internasional dengan ragam karakteristiknya, yang jika dikalkulasikan dengan dolar tentu membuat UMKM tergopoh-gopoh. Hal inilah yang mengakibatkan pembisnis lokal terpaksa harus kalah bersaing baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Sebagai alternatif, sebenarnya di Indonesia telah ada kebijakan One Village One Product (OVOP) untuk menjamin ketahanan ekonomi makro berbasis komunitas. Kebijakan tersebut berlandaskan pada Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008- 2009, dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/9/2007.
Hanya, kebijakan tersebut masih belum terealisasi secara masif dan kecenderungan monopolistik pada sebagian pemodal masih kerap ditemukan. Padahal secara substansial, kebijakan tersebut menekankan tentang asas kegotong-royongan guna menghasilkan produk kreatif secara besar dan meringankan beban dalam persoalan sertifikasi.
Dengan begitu, hasil yang diharapkan dari pendekatan model integratif ini pada tingkat harga dapat ditekan dan produk dapat bersaing baik skala lokal maupun global. Model OVOP juga berpotensi membuka akses seluas-luasnya bagi rumah tangga miskin untuk melakukan produksi guna mengurangi disparitas pendapatan antara kelompok terkaya dan kelompok termiskin.
Sumber: koran-sindo.com