Seperti yang telah kita pelajari dari artikel sebelumnya, Batik Yogyakarta dan Solo bagaikan saudara kandung. Serupa tapi tak sama, masing-masing batik memiliki ciri khasnya masing-masing dengan nama motif yang berbeda.
Di artikel ini, kita akan mengenal berbagai motif dari Batik Yogyakarta dan Solo.
Batik dari Keraton Yogyakarta mempunyai ciri khas dengan warna dasar kain putih (warna kain mori) atau hitam. Warna pola batik biasanya putih, biru tua kehitaman, dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain berwarna putih. Pola geometri batik Keraton Yogyakarta besar-besar dan beberapa diantaranya memiliki pola parang dan nitik.
Ragam hias geometris antara lain garis miring lerek atau lereng, garis silang atau ceplok dan kawung, serta anyaman dan limaran. Ragam hias bersifat non-geometris adalah semen, lung-lungan dan boketan. Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu-Jawa, antara lain sawat yang melambangkan mahota atau penguasa tinggi, meru melambangkan gunung atau tanah, naga melambangkan air, burung melambangkan angin atau dunia atas, dan lidah api melambangkan nyala atau geni.
Motif batik Solo umumnya berawalan sida (dibaca sido), golongan motif yang banyak dibuat para pembatik. Kata “sida” sendiri berarti jadi/menjadi/terlaksana. Dengan demikian, motif-motif berawalan “sida” mengandung harapan agar apa yang diinginkan bisa tercapai. Beberapa batik Solo berawalan “sida” yang terkenal antara lain:
Motif Batik Yogyakarta
Ceplok, Grompol
Ceplok mencakup berbagai macam desain geometris, berdasar pada mawar melingkar, bintang atau bentuk kecil lainnya. Pola simetris ke seluruh bagian kain seperti pada gambar di samping:
Kawung
Kawung adalah salah satu motif tertua dan dahulu disediakan untuk keluarga kerajaan. Motif ini merupakan penampang buah arena tau kelapa, dan beberapa sumber mengatakan bahwa salib di antara empat oval berarti sumber energi universal. Meskipun ada banyak variasi, struktur dasar adalah kelompok empat lingkaran atau oval yang hampir menyentuk sama lain adalah yang paling klasik.
Parang
Kadang-kadang disebut sebagai motif keris atau pedang oleh orang luar, sedangkan orang Jawa menyebutnya motif Parang Lidah api. Parang adalah salah satu motif batik yang paling kuat dengan garis-garis yang tegas yang tersusun secara Ada ratusan variasi dari motif ini, dari dua cm di Parang Klithik hingga yang terbesar sekitar 8 cm atau lebih di Parang Barong. Parang Barong adalah pola suci yang hanya dikenakan oleh raja. Motif ini menjadi pengingat untuk raja agar selalu menjaga dirinya sendiri dengan hati-hati sehingga ia akan menjadi penguasa yang bertanggung jawab, jujur dan adil. Istilah Lereng mengacu pada baris diagonal pola di antara motif parang. Selain itu, banyak pola hanya deretan garis diagonal sempit penuh dengan deretan pola kecil.
Parang Rusak
Variasi lain dari desain Parang yang hanya dikenakan oleh keluarga kerajaan pada acara-acara kenegaraan adalah Parang Rusak. Melambangkan pertarungan internal manusia melawan kejahatan dengan mengendalikan keinginan mereka sehingga mereka yang bijaksana, akhlak mulia akan menang.
Lereng
Lereng merujuk pada barisan pola diagonal yang berada di antara motif Parang. Banyak pola yang hanya terdiri dari barisan diagonal yang diisi dengan pola-pola kecil.
Salah satunya adalah Udang Liris, salah satu pola tertua yang disediakan untuk istana. Udang liris atau hujan ringan melambangkan kesuburan, harapan untuk kemakmuran, tekad, untuk memiliki keberanian dalam melaksanakan tugas untuk kepentingan bangsa dan rakyatnya.
Nitik
Motif Nitik adalah salah satu motif batik tertua, inspirasinya datang dari kain tenun patola yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India lama. Desain geometrik dibuat dengan titik-titik kecil dan garis yang meniru kain tenun Salah satu contoh Nitik adalah Motif Truntum, yang dipakai oleh orang tua dari mempelai dalam acara pernikahan. Harapannya adalah agar cinta kasih yang tumoruntum menghinggapi kedua mempelai, meskipun demikian bisa juga berarti orang tua berkewajiban untuk menuntun kedua mempelai memasuki kehidupan baru, Truntum bermakna cinta tulus tanpa syarat dan abadi.
Semen
Semen, berasal dari kata semi yang berarti untuk bersemi atau tumbuh, adalah motif non-geometris yang mengambil inspirasi dari alam. Sebagian besar motifnya adalah dengan batang tumbuhan yang dhias, bunga, daun, pegunungan, dan hewan, kelompok motif ini sangat penting untuk anggota keluarga kerajaan pada acara-acara khusus, serta masyarakat umum dalam penggunaan sehari-hari. Motif semen seperti gambar di samping adalah Semen Sido Mukti.
Garuda, makhluk mistik berupa manusia burung dalam mitologi Hindu yang membawa Wisnu melalui ke surge sering digambarkan dalam desain motif Semen dengan satu atau sepasang sayap (Lar) atau sayap dan ekor (Sawat). Sering dikaitkan dengan pola Semen, bentuk sayap tersebut juga ditemukan dalam motif Parang dan Ceplok.
Isen
Pola pengisi yang disebut Isen berkarakter khasIndonesia, khususnya batik Jawa. Dilakukan secara hati-hati, pola kecil-kecil ini menambah kedalaman dan keindahan yang harmonis untuk keseluruhan kain batik.
Batik Solo
Sidomukti
Motif Sidomukti bermakna harapan untuk mencapai kedudukan yang tinggi, dan dapat menjadi panutan masyarakat. Bagi orang Jawa, yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan dan tindakan tentu agar hidup akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman dibutuhkan usaha dan kerja keras, keluhuran budi, ucapan dan tindakan.
Kain batik motif Sidomukti dikenakan saat upacara pernikahan, kadang disebut juga sebagai batik Sawitan (sepasang). Dalam proses pembuatan kain batik Sidomukti, pembatik berdoa dan melakukan puasa terlebih dahulu agar pemakainya saat menikah hingga berumah tangga memperoleh mukti atau kebahagiaan yang sempurna, dilanggengkan kehidupannya dan dimudahkan rezekinya. Sidomukti terdiri dari beberapa motif, yaitu motif ukel (berbentuk seperti koma) semakin kecil ukelnya maka semakin tinggi nilai seninya. Selain itu ada juga motif gurda atau garuda, motif kotak-kotak bergambar kupu-kupu dan semacam kereta pengantin yang ditandu.
Sidoluhur
Di Keraton Surakarta, motif Sidoluhur dikenakan oleh temanten putri pada malam pengantin. Batik motif Sidoluhur mengandung filosodi keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup adalah untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat maupun profesinya; sementara keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, orang Jawa bercita-cita agar hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran. Motif Sidoluhur juga bermakna harapan untuk mencapai kedudukan tinggi dan dapat menjadi panutan masyarakat, adapaula jenis motif Bledak Sidoluhur Latar Putih yang dikenakan saat upacara mitoni (upacara nujuh bulan ketika seorang wanita hamil untuk pertama kalinya). Sidoluhur yang memiliki dasar kain berwarna putih ini mengandung harapan agar yang memakai selalu dalam keadaan gembira.
Motif dasar Sidoluhur menyerupai wajik. Makna dari Sido Luhur sendiri adalah harapan agar pengantin berbudi luhur dan menjadi pasangan yang bermartabat.
Sidomulyo
Motif dasar batik Sidomulyo ini hampir sama dengan Sidoluhur, namun detail dan warnanya lebih muda. Secara struktur, Sidomulyo berpola dasar geometris yang membentuk bidang-bidang wajik, seperti Sidoluhur. Masing-masing bidang diisi dengan motif, seperti motif pohon hayat, kupu-kupu, bangunan dan garuda. Motif selingan berupa garis geometrik yang dipadu dengan motif lung-lung-lungan secara variatif menghiasi ruang kosong diantara motif utama.
Kata Sidomulyo sendiri apabila diartikan secara harafiah adalah jadi mulia, atau mendapatkan kemuliaan. Filosofi motif Sidomulyo adalah harapan agar keluarga yang dibina akan terus-menerus mendapat kemuliaan meskipun mendapat kesulitan. Kemuliaan hidup yang terkandung dalam filosofi batik Sidomulyo hanya dapat dicapai apabila manusia mampu mengendalikan empat nafsu: nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu supiyah, dan nafsu mutmainah. Jika manusia dapat mengendalikan keempat nafsu tersebut, maka manusia akan mencapai kesempurnaan jati (kesempurnaan hidup), atau kemuliaan hidup (Sidomukti/Sidomulyo).