Bahasa Indonesia Harus Menjadi Bahasa ASEAN

0
838

RIAUPOS.CO – Kamis (22/10) lalu, Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menggelar seminar nasional kebahasaan di Hotel Aston Tanjungpinang. Seminar ini bersempena dengan Bulan Bahasa yang diperingati setiap 28 Oktober, dengan tema ’’Keberadaan Bahasa dan Budaya Indonesia di Kancah Internasional: Tantangan dalam Menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Salah seorang narasumbernya Chairman Riau Pos Group H Rida K Liamsi. Berikut beberapa pemikirian Rida K Liamsi yang dituangkan dalam makalah.

Pokok pikiran pertama, bahwa bahasa selain sebagai alat komunikasi antarpersonal, juga sebagai alat pemersatu bangsa dan negara. Sebuah negara belumlah bernama negara jika belum memiliki bahasa kebangsaannya.

Bayangkan, bagaimana Indonesia yang memiliki beratus suku bangsa dan bahasa daerahnya, bisa menjadi negara kesatuan, kalau tidak ada bahasa kebangsaan yang mempersatukannya.

Misalnya, tidak ada Bahasa Melayu yang bisa diterima semua etnis dan menjadi teras bahasa kebangsaan Indonesia, sampai saat ini. Bahasa lah yang kini menjadi salah satu pemersatu bangsa dan negara kebangsaan Indonesia ini dan menjadi jantung semboyan: NKRI Harga Mati.
Kedua, MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN itu memang sebuah kesepakatan dan kehendak bersama negara-negara ASEAN, untuk bersatu membentuk masyarakat ekonomi, agar ada sinergitas, kekuatan daya saing, pemberdayaan sumber daya dan penerapan sistem ekonomi yang berkelanjutan, melalui pasar secara bersama.

Seperti masyarakat ekonomi Eropa, dan lainnya. Tetapi meski latar belakangnya adalah ekonomi, bahasa tetap menjadi hal yang nomor satu pentingnya, untuk menjadi pemersatu masyarakat ekonomi ini.

Bahasa menjadi kekuatan perekat semua gagasan, kesepakatan, dan tindakan bersama serta menjadi penetralisir semua perbedaan, konflik, dan dampak kehadiran komunitas ekonomi bersama ini.

Bayangkan kalau tidak ada sarana bahasa bersama yang menjadi media komunikasi antar negara-negara yang sudah ratusan tahun membangun identitas dan kulturnya ini, kalau tidak disatukan oleh bahasa dipahami bersama oleh komunitas sejak yang hidup di Mindano (Filipina) sampai ke Bengkulu (Indonesia) atau dari Ende (NTT/Indonesia) sampai ke Pataya (Thailand), dan lain-lain rentang hubungan antarnegara ASEAN. Kita akan kembali ke zaman batu, dan menggunakan bahasa isyarat.

Ketiga, bahasa di ASEAN yang paling tepat menjadi bahasa pemersatu MEA itu, adalah Bahasa Indonesia. Karena Bahasa Indonesia memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, Bahasa Indonesia dipakai oleh lebih separuh penduduk ASEAN, karena Indonesia adalah negara terbesar penduduk dan wilayahnya. Kedua, Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu itu, adalah bahasa yang mempunyai jejak dan hubungan linguistik dengan bahasa-bahasa negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, sebagian dari Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos, karena di sana sebahagian penduduknya adalah rumpun bangsa Melayu.

Bukankah, bangsa dan Bahasa Melayu itu datang dari daratan Asia Selatan ke kawasan nusantara ini. Di dunia saat ini, ada 400 juta penutur bahasa Melayu, yang jika zaman berkehendak, akan bangkit menjadi bahasa komunikasi antarnegara dan wilayah bangsa yang serumpun, dan pemersatu di masa depan. Karena itu Bahasa Melayu seharusnya sudah menjadi bahasa PBB.
Keempat, Bahasa Indonesia harus menjadi bahasa MEA, karena untuk jangka panjang jika Bahasa Inggris yang dipakai sebagai bahasa komunikasi dan interaksi MEA, terutama dalam komunitas ekonominya, maka Indonesialah negara yang paling dirugikan.

Karena Indonesia, selain memang belum siap untuk menghadapi pedagangan bebas dalam komunitas MEA dengan berbagai kelemahannya, juga secara bahasa, hanya sekitar 5 persen yang bisa berbahasa Inggris. Sisanya, adalah para penutur Bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa daerah, yang setiap waktu menjadi bahasa komunikasi ekonominya.

Untuk jangka panjang, kalau rakyat Indonesia tidak segera belajar dan memahami Bahasa Inggris yang menjadi bahasa komunikasi MEA, maka rakyat Indonesia akan tersisih dari pergaulan ekonomi MEA.

Akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan terbelakang dalam semua aktivitas ekonomi, dan digilas oleh rakyat kawasan negara lain yang sudah sangat maju bahasa Inggris-nya, terutama Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand dan Vietnam. Mereka akan menyerbu Indonesia dari segala bidang ekonomi, terutama tenaga kerja (lihat kasus keunggulan tenaga kerja Filipina dibanding Indonesia dalam soal penghasilan TKW di luar negeri). Indonesia akan jadi sapi perah dalam masyarakat MEA itu nanti. Negara kaya yang tetap miskin, karena keterbelakangan kultural, khususnya bahasa.

Kelima, menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa MEA itu, memang perlu kemauan politik, dan kehendak yang le-bih keras dan strategis, dalam memperjuangkannya, dan juga memaksakannya.

Meski sudah agak terlambat, seharusnya ada upaya yang terus-menerus mengedukasi masyarakat ASEAN tentang keunggulan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN, sebagai bahasa yang modern, terbuka, komunikatif, dan maju. Upaya itu, memang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga kerja sama bahasa antarnegara-negara yang bahasa nasional bersumber dari bahasa Melayu, seperti Mabim dan lain-lain.

Tapi progresnya terlalu lambat dan sudah puluhan tahun Bahasa Indonesia belum mampu jadi bahasa penentu di kawasan ASEAN (kesalahan banyak dari para pakar linguistik Indonesia).

Keenam, Bahasa Indonesia masih sulit menjadi bahasa resmi ASEAN, karena peran ekonomi Indonesia yang lemah dan tidak menentukan. Indonesia belum bisa memaksakan keberadaan bahasanya kepada negara-negara ASEAN lainnya, karena ekonomi Indonesia hanya jago kandang.

Sebaliknya negara-negara ASEAN lain yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai kekuatan komunikasinya, justru menyerbu Indonesia. Lihatlah berapa banyak bank-bank Indonesia yang sebagian sahamnya (minimal 30 persen) dikuasai oleh Singapura dan Malaysia. Lalu mana ada bank-bank di Malaysia yang dikuasai sahamnya oleh Indonesia (kecuali para pengusaha Indonesia yang paling banyak menyimpan uangnya di bank-bank Singapura atau cuma buka cabang).

Berapa banyak perkebunan sawit Indonesia yang dikuasai Malaysia, Singapura, dan lainnya. Dan mana ada kebun sawit Malaysia yang dikuasai Indonesia?

Satu-satunya yang Indonesia agak bersuara secara ekonomi di Malaysia misalnya, adalah penerbangan. Ada Malindo yang dikuasai sebagian sahamnya oleh Lion Air. Tapi Air Asia yang dikuasai Malaysia, merajalela di Indonesia. Atau industri semen di Vietnam yang Indonesia mulai bersuara.

Indonesia tak dipandang di ASEAN, terutama di Malaysia dan Singapura. Lihatlah, sudah berapa puluh tahun Indonesia berjuang mengambil alih transhipment kapal-kapal Indonesia yang berlabuh di Singapura, untuk dialihkan ke Batam. Tapi tak pernah berhasil. Tanpa kekuatan ekonomi, Indonesia bukan apa-apa di MEA.

Ketujuh, untuk jangka panjang, karena MEA adalah komunitas ekonomi dan kelak akan menjadi bahagian dari masyarakat ekonomi dunia, maka Indonesia harus memaksakan rakyatnya belajar bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris.

Harus mau, harus sistematis, harus sejak dini dan terutama di lembaga pendidikan. Harus belajar untuk kepentingan masa depan. Mana bisa Indonesia jadi poros maritim dunia, kalau rakyatnya tidak mengerti bahasa dunia.

Minimal 25 persen rakyatnya harus bisa berbahasa Inggris, minimal para entrepreneur dan UKM-nya yang 25 juta orang itu, supaya bisa berinteraksi dengan MEA dan MED (Masyarakat Ekonomi Dunia) yang cepat atau lambat akan ujud selagi sistem ekonomi dunia itu liberal dan global).

Kedelapan, dalam menyambut MEA ini, Provinsi Kepulauan Riau dan Riau harus paling siap, karena wilayah ini ada di depan pintu masuk Indonesia dan di pusat kawasan ASEAN, di depan gerbang arus globalisasi MEA.

Bukan saja siap secara ekonomi, juga secara kultural untuk menjadi beranda MEA, menjadi the first line Bahasa Indonesia sebagai bahasa MEA. Sekarang ini memang para turis yang datang dari Singapura, Malaysia, misalnya, sebagian besar, bisa berkomunikasi dengan dunia usaha di Kepri dan Riau dengan Bahasa Melayu.

Tapi, pasar dunia usaha di Kepri dan Riau, khususnya di resort wisata, dari pertokoan-pertokoan, belum disiapkan menjadikan Bahasa Indonesia (Bahasa Melayu) sebagai kekuatan membentuk bahasa persatuan ASEAN. Soal label harga saja, masih banyak yang tampil pakai bahasa asing, terutama Inggris.

Nama-nama toko saja masih banyak yang pakai Bahasa Inggris. Mestinya, komunitas ekonomi Indonesia yang di Kepri dan Riau, bisa memaksa para turis menerima Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi bisnisnya.

Harusnya, Provinsi Kepri dan Riau menjadi pelopor, menerbitkan Kamus Bisnis Bahasa ASEAN, yang terasnya Bahasa Indonesia. Harus ada pemaksaan kehendak untuk mengindonesianisasi semua lini perdagangan, agar manfaat MEA itu bisa dirasakan oleh warga Kepri-Riau yang paling ceruk yang tidak mengerti bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Kalau tidak, Indonesia akan tetap menjadi negeri yang jadi keranjang sampah kemajuan ASEAN, karena besar, tapi tak berdaya.

Kesembilan, jika satu bangsa tidak berdaya secara bahasa, maka bangsa itu cepat atau lambat akan punah. Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah Melayu. Sekarang ini, tiap dua pekan, satu bahasa dunia punah, meskipun itu bahasa daerah. Tapi kalau seratus tahun lagi, gara-gara MEA ini, bahasa asing lah yang menjadi bahasa komunikasi dan pemersatunya, di mana lagi ada Indonesia itu?

Maka untuk kepentingan masa depan Indonesia, dan rakyatnya, maka hanya ada dua pilihan dalam urusan bahasa ASEAN dan bahasa MEA ini: Bahasa Indonesia diterima sebagai bahasa resmi ASEAN dan menjadi bahasa MEA, atau Indonesia keluar dari organisasi negara ASEAN ini.

Sumber: Riaupos.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here